Berdua dalam Diam: Cara Ibu dan Ayah Mengatasi Konflik Tanpa Melukai Anak

Berdua dalam Diam: Cara Ibu dan Ayah Mengatasi Konflik Tanpa Melukai Anak

 

Arabic family fighting at home | Premium Photo

Sumber: Freepik.com

Setiap pasangan suami istri pasti pernah mengalami konflik. Gesekan rumah tangga dapat disebabkan oleh perbedaan pendapat, tekanan finansial, kelelahan mengasuh anak, atau cara komunikasi yang berbeda. Namun, seringkali terlupakan bahwa anak menjadi saksi diam dari setiap konflik antara ibu dan ayah.

Konflik yang tidak disikapi dengan bijak bukan hanya memengaruhi hubungan pasangan tetapi juga emosi dan perkembangan anak. Maka dari itu, orang tua harus tahu cara mengelola konflik secara sehat tanpa berteriak, menyakiti satu sama lain, atau membuat anak merasa menjadi penyebab atau korban.

Anak Selalu Peka, Meski Tak Mendengar Kata

Banyak orang tua percaya bahwa anak-anak tidak akan tahu jika mereka bertengkar “di kamar” atau “tanpa suara keras”. Padahal, anak sangat sensitif secara emosional. Anak mungkin merasa sangat tertekan jika melihat wajah ibu yang murung, nada bicara ayah yang dingin, atau keheningan aneh di rumah.

Konflik diam-diam di mana orang tua saling mendiamkan, saling menjauh, atau bersikap dingin seringkali lebih menakutkan dan membingungkan bagi anak daripada konflik terbuka. Anak-anak mungkin merasa ada yang salah, tapi tidak tahu apa yang telah terjadi. Mereka bisa saja merasa bersalah, tidak aman, atau bahkan menjadi terlalu cemas.

Cara Mengelola Konflik Tanpa Melukai Anak

Berikut ini adalah beberapa strategi yang dapat digunakan ibu dan ayah untuk menangani konflik dengan bijak dan sehat:

  1. Tunda Perdebatan Saat Anak Hadir

Jika terjadi ketegangan, setuju untuk menunda pembicaraan sampai suasana tenang dan anak tidak ada di sekitar. Katakan, “Kita bicarakan nanti ya, setelah anak tidur” bukan untuk menghindari, tetapi untuk kepentingan bersama. Allah SWT berfirman:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ…

“Orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 134)

Orang yang bertakwa dan dicintai Allah dapat menahan amarah saat ada konflik rumah tangga dan memilih untuk menyelesaikannya dengan cara yang baik. Itu adalah contoh terbaik yang dapat diwariskan pada anak-anak.

  1. Komunikasi dengan Empati dan Tujuan

Berkonsentrasilah pada penyampaian perasaan daripada menuduh “Saya merasa…” harus diganti dengan “Kamu selalu…”. Tujuannya bukan untuk menang, tetapi untuk saling memahami.

  1. Hindari Melibatkan Anak sebagai Penengah

Mengeluhkan pasangan atau meminta anak memilih salah satu pihak di depan mereka adalah bentuk kekerasan emosional terselubung. Anak-anak bukanlah penengah. Dia berhak untuk merasa aman dengan orang tuanya.

  1. Tunjukkan Rekonsiliasi

Jika konflik telah diselesaikan, tunjukkan bahwa ibu dan ayah telah mencapai kesepakatan. Pelukan, senyuman, atau obrolan ringan bisa menenangkan hati anak dan menunjukkan bahwa perbedaan dapat diselesaikan dengan baik.

  1. Libatkan Allah dalam Prosesnya

Doa adalah kekuatan rumah tangga terbesar. Dalam Islam, pasangan suami istri dianjurkan untuk menyelesaikan masalah dengan musyawarah, ramah, dan menghindari prasangka. Ingatlah bahwa anak adalah amanah rumah tangga dan mereka harus dijaga hatinya.

Ketika Diam Bisa Menjadi Luka

Diam memang bisa meredam emosi, tetapi jika terus berlanjut, itu bisa menjadi jurang pemisah. Berdua dalam diam tidak selalu berarti menyelesaikan masalah; kadang-kadang, itu justru memperpanjang luka. Berkomunikasi secara jujur, penuh kasih, dan terarah adalah cara supaya diam bukan menjadi ruang luka, tetapi ruang jeda untuk berpikir jernih.

Kesimpulan

Tidak ada rumah tangga yang tidak mengalami konflik; namun, setiap pasangan dapat belajar mengatasi pertengkaran mereka dengan cara yang bijaksana dan penuh cinta. Anak tidak membutuhkan orang tua yang ideal, tetapi orang tua yang ingin belajar dan berkembang bersama mereka.

Dengan saling memahami dan tetap berkomunikasi, ibu dan ayah dapat menjadi tim yang kuat, bukan hanya satu sama lain, tetapi juga untuk anak-anak mereka, yang belajar tentang dunia melalui keluarga.

Penulis: Silmi Fitriani